Urgensi Pendidikan
Keberadaan kepemerintahan suatu negara
seharusnya mampu memberikan pelayanan-pelayanan dasar yang dapat diakses
secara adil oleh seluruh lapisan warga negara. Pelayanan-pelayanan
dasar ini adalah keamanan, kesehatan, dan pendidikan. Namun pada
faktanya ketiga pelayanan dasar ini hanya bisa dinikmati dengan mudah
oleh segelintir orang saja. Sementara untuk kalangan menengah ke bawah,
ketiga pelayanan yang sesungguhnya bersifat “dasar” ini justru menjadi
barang “mahal”. Seperti pelayanan pendidikan misalnya. Tidak semua orang
mampu mengaksesnya dengan mudah. Padahal pendidikan mengambil peranan
penting dalam kemajuan Negara khatulistiwa ini, dimana ia merupakan
mesin yang akan mencetak generasi muda penerus bangsa yang memiliki daya
saing baik dari segi intelektualitas, emosional dan spiritual sehingga
mampu berkompetisi pada tingkat global.
Pendidikan juga merupakan senjata bagi
fenomena bonus demografi, yaitu fenomena dimana jumlah penduduk usia
produktif (15–60 tahun) lebih besar dibandingkan dengan usia
nonproduktif (di bawah 15 tahun dan di atas 60 tahun) yang perkirakan
terjadi di Indonesia pada tahun 2020 – 2030. Menurut Surya Chandra,
anggota DPR Komisi IX, dalam seminarnya di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, pada tahun 2020 – 2030, Indonesia akan memilki
180 juta (70 %) usia produktif dan hanya 60 juta jiwa penduduk usia
tidak produktif. Bisa dibayangkan seandainya anak-anak usia sekolah yang
akan menjadi generasi produktif dimasa mendatang justru tidak
mandapatkan layanan pendidikan, bonus demografi malah akan menjadi
bencana karena generasi tersebut tidak mampu bersaing di pasar tenaga
kerja. Ujung-ujungnya angka pengangguran meningkat.
Berdasarkan data dari National Geographic
Indonesia (11/07/2011), jumlah anak putus sekolah mencapai 11,7 juta
anak pada tahun 2009, rata-rata berusia 7 – 15 tahun. Jumlah ini terus
meningkat dari 3 tahun sebelumnya yang masih berjumlah 9,7 juta jiwa
pada tahun 2006. Jumlah ini akan terus bertambah 600.000 hingga
700.000 siswa per tahun berdasarkan data tahun 2009 dari Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Kenapa hal ini bisa
terjadi? Pertama pelayanan pendidikan mahal. Hal ini tidak akan menjadi
masalah, hanya jika penduduk Indonesia tidak miskin. Namun ternyata terdapat 30,02 juta orang miskin di Indonesia menurut Data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2011. Kondisi kemiskinan yang menyebabkan keterbatasan sebagian masyarakat dalam mengakses pelayanan pendidikan.
Penyelenggaraan dan Pembiayaan Pelayanan Pendidikan
Hal tersebut seharusnya dapat teratasi dengan
keberadaan pelayanan pendidikan yang berkualitas dan dapat diakses oleh
semua lapisan masyarakat bahkan yang paling miskin sekalipun.
Penyelenggeraan fasilitas pendidikan memang bukan suatu proyek yang
memberikan profit berupa materi dalam jumlah yang pasti, tetapi berefek
jangka panjang terhadap kemajuan suatu bangsa. Penyediaan pelayanan
pendidikan justru menghabiskan anggaran yang besar, baik dari segi biaya
pengadaan fisik bangunan, biaya operasional, perawatan, perbaikan, gaji
pegawai dan segala tetek bengek biaya lainnya. Sementara pemasukan dari
pelayanan pendidikan bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Penyediaan
pendidikan justru menghabiskan dana APBN/APBD tetapi tidak memberikan
pemasukan. Hal ini mengakibatkan pembebanan biaya beralih pada konsumen
layanan pendidikan, agar modal pembangunan fasilitas pendidikan bisa
kembali modal, atau paling tidak, fasilitas pendidikan tersebut dapat
mandiri dari segi biaya operasional setiap harinya.
Penyediaan pelayanan pendidikan sangat
mungkin diselenggarakan oleh pihak swasta, Bahkan saat ini bisa kita
lihat sekolah swasta mulai menjamur. Namun kembali lagi pada kualitas,
harus kita akui bahwa sekolah swasta yang memiliki mutu pendidikan yang
bagus dan unggul, sangat-sangat mahal. Biaya SPP jauh melampaui
sekolah-sekolah negeri. Lagi-lagi masyarakat miskin tidak mampu
mengakses pendidikan yang berkualitas. Apakah ada sekolah swasta yang
murah? Jawabannya ada, Bahkan ada yang cuma-cuma memberikan pendidikan
gratis. Tapi tidak ada jaminan soal kualitas.
Pembiayaan Pelayanan Pendidikan
Penyelesaian dari pendekatan pembiayaan
pembangunan layanan pendidikan dapat menjadi salah satu cara dalam
menyelesaikan kondisi tersebut. Selama ini pembiayaan pembangunan
fasilitas pendidikan bersumber dari dana konvensional (APBN/APBD) dan
dana non-konvensional, yaitu dana yang berasal bukan dari pemerintah.
Dana ini bisa jadi bersumber dari hutang, dana hibah, zakat atau
biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pihak swasta.
Zakat adalah salah satu sumber dana
non-konvensional paling potensial untuk membiayai penyelenggaraan
pendidikan dibandingkan dengan hutang/penyediaan pendidikan oleh swasta.
Zakat adalah kewajiban ummat muslim untuk menyisihkan sebagian dari
hartanya (2,5 %) untuk diberikan kepada yang membutuhkan. Kenapa zakat?
Pertama potensi jumlah penduduk muslim Indonesia mencapai 204,8 juta jiwa dari total 237,6 juta jiwa
berdasarkan sensus terakhir tahun 2010. Kedua, pengadaan modal untuk
penyelenggraan pendidikan dari zakat, sama sekali tidak menuntut
pengembalian modal berbeda dengan hutang atau pinjaman dari swasta, yang
bukan hanya menuntut pengembalian modal justru ditambah dengan bunga.
Jenis zakat yang bisa dijadikan sebagai
sumber pembiayaan penyelenggaraan pendidikan adalah zakat profesi
(dokter, pedagang, PNS, dll yang halal). Berdasarkan kondisi harga
kebutuhan pokok saat ini maka nishab (batasan antara apakan kekayaan
yang dimiliki seseorang wajib dikeluarkan untuk zakat atau tidak) adalah
mereka yang memiliki pendapatan Rp. 3juta. Jadi zakat yang harus
dibayarkan adalah Rp. 75.000,00/bulan atau 900.000,00/tahun. Berdasarkan
data dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) tahun 2010, potensi zakat profesi mencapai Rp 19,3 trilyun. Jumlah ini bisa terus bertambah setiap tahunnya.
Jumlah dana ini, lebih dari cukup untuk
menjadi sumber pembiayaan bagi pelayanan pendidikan. Sebagai contoh,
Kota Surabaya, potensi zakat profesi tahun 2011 mencapai Rp
6.204.450.000,00 per bulan. Jika dana zakat ini digunakan untuk
membantu pembiayaan pendidikan untuk siswa SD di Surabaya dengan nilai
bantuan sama dengan nilai subsidi yang telah ditetapkan oleh Pemkot
Surabaya yaitu sebesar Rp 29.000/anak maka dengan zakat ini dapat
menggratiskan SPP untuk 213.946 siswa SD atau dapat meringankan anggaran
pemerintah sebesar Rp 74.453.208.000,00.
Hal ini cukup membuktikan bahwa zakat patut
dilirik untuk dijadikan sumber pembiayaan bagi pendidikan terutama bagi
kaum fakir miskin. Sehingga kesenjangan dalam mengakses pelayanan
pendidikan yang berkualitas dapat dihilangkan. Selain itu peran zakat
dalam pembiayaan pelayanan pendidikan mencerminkan kepedulian sosial
dimana kaum yang mampu membantu kaum yang lemah dari segi ekonomi.
Bayangkan jika gaji presiden yang sebedar Rp.60 juta dipotong 2,5 % atau
sebesar Rp. 1,5 juta/bulan (Rp.18 juta/tahun), ditambah dengan Bakrie,
Surya Paloh, dan kawan-kawan. Kesenjangan dalam mengakses pelayanan
pendidikan bukan lagi menjadi sebuah masalah yang mengancam masa depan
bangsa. Merdeka !