Masih Terjadi di Lebak Selatan, Pendidikan Anak Urusan Siapa?

Saya menemukan artikel ini Pendidikan Anak Urusan Siapa? karya Ronald Anthony seorang Pelajar SMA St Petrus Ptk dari kompasiana. Membaca tulisan ini saya merasa bahwa kasus anak ingin sekolah tapi tak ada biaya dan soal mindset orang tua tentang sekolah juga masih terjadi di lebak selatan.

Jadi rasanya sayang tak di share di blog ini kepada teman-teman. Silahkan artikel selengkapnya:

Pendidikan Anak Urusan Siapa?

Ketika saya sedang menulis ini saya baru saja mendengar sebuah cerita nyata dan jeritan dari salah satu anak negeri ini yang masih mempunyai keinginan kuat untuk sekolah hingga wajib belajar 12 tahun tuntas namun apa lah daya seorang anak.

Namanya sebut saja B(tidak etis saya sebutkan disini nama aslinya) umurnya kira” 16/17 tahun sudah sempat mengenyam pendidikan hingga setingkat SMA dan hari-harinya dilalui seperti biasa kebanyakan anak namun ketika akan naik kelas ayahnya memutuskan untuk memberhentikan ia dari sekolahnya dikarenakan bukan karena masalah keuangan bukan karena masalah keluarga tapi masalah prinsip.

Ya prinsip menjadi persoalan yang muncul di tengah prahara ini sang ayah berprinsip bahwa anak seumuran dia sebaiknya langsung saja bekerja tidak usah sekolah toh kakaknya juga sudah sukses tanpa harus sekolah dan kalau kakaknya saja bisa tentunya ayahnya berpendapat bawa ia juga dapat melakukan hal yang sama.

Saya hanya bisa menghela nafas panjang sambil memikirkan kejadian itu yang pertama anak itu titipan dari tuhan sudah sepantasnya dan selayaknya kita memperlakukan dia seperti barang yang mewah dan tentunya salah satu indikator itu adalah pendidikan. Pendidikan sangat penting dalam pembentukan karakter anak dimana mereka bersosialisasi mengenal lingkungan nya padahal pemerintah sudah mencanangkan program wajib belajar 12 tahun hingga SMA/Sederajat.

Ya sekali lagi itu masalah Prinsip kita tidak bisa menyalahkan juga sepenuhnya kepada orang tua yang tidak mau menyekolahkan anaknya mungkin saja kesulitan ekonomi menjadi masalah utama namun ketika hal ini terjadi dimana fungsi dan peran pemerintah sebagai pengayom masyarakat meskipun sudah diberi kemudahan dengan Bantuan Operasional Sekolah(BOS) dan Sekolah Gratis bahkan hingga iklan “Sekolah Gratis dimana-mana” terngiang-ngiang ketika saya membuka TV.

Ada satu hal yang ingin saya tekankan pada saat Ujian Nasioanal 2012 yang lalu saya sempat menonton Tayangan televisi di salah satu Tv swasta yang menayangkan talkshow antara Pemerintah kalau tidak salah diwakili Dirjen nya dengan Praktisi Pendidikan bahwa ujian nasional sebagai acuan untuk mengetahui sejauh mana sistem/standard pendidikan di daerah tapi teman yang ikut menonton di sebelah saya mengatakan kalau mau tahu sejauh mana sistem/standard pendidikan turun ke bawah jangan hanya bicara turun melihat ke daerah-daerah saya sempat berdikusi ringan dengan guru sosiologi saya Ujian Nasional betul dikatakan untuk mengetahui standard pendidikan di daerah namun jangan sebagai ACUAN dalam menentukan kelulusan meskipun komposisi 60% ujian nasional dan 40% dari sekolah dinilai masih memberatkan siswa.

Saya berharap Pemerintah mendengar suara Jeritan Anak negeri ini yang masih jauh tertinggal dalam hal pendidikan jangan hanya tiap hari memikirkan bagi-bagi kekuasaan dan Korupsi tapi pikirkan juga lah Kami masyarakat kecil yang menunggu aksimu.


sumberimage: http://edukasi.kompasiana.com/
 

Masih Kekurangan Guru, Dewan Pendidikan Lebak Minta Pemerataan Guru Direalisasikan

Dewan pendidikan Kabupaten Lebak meminta pemerintah daerah setempat melakukan pemerataan guru direalisasikan, sehingga tidak terjadi kekurangan antara perkotaan dan pedesaan.

”Selama ini pemerataan tenaga pendidik belum ideal karena guru banyak menumpuk di perkotaan,” kata Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Lebak Hasan Alaydrus di Rangkasbitung, Kamis. Ia mengatakan, selama ini Kabupaten Lebak tidak akan terjadi kekurangan guru antara perdesaan dan perkotaan. Apabila, rekrutmen penyaluran tenaga pendidik dilaksanakan dengan baik.

Saat ini, kata dia, pemerataan guru tidak seimbang antara kota dan desa. Sebetulnya, jumlah guru di Kabupaten Lebak sebanyak 7.247 orang sudah mencukupi untuk disebar di 28 kecamatan. Namun, kata dia, pemerataan guru yang tidak baik, sehingga terjadi kekurangan.”Kami berharap dinas pendidikan setempat segera melaksanakan pemerataan guru,” katanya.

Suryana (45), seorang guru SDN di Kecamatan Panggarangan, Kabupaten Lebak, mengaku hingga kini sekolahnya yang berlokasi di desa terpencil kekurangan guru sebanyak empat orang. Saat ini, kata dia, guru yang ada hanya tiga orang, termasuk kepala sekolah.”Dengan kekurangan guru itu tentu kegiatan belajar mengajar (KBM) tidak efektif untuk meningkatkan mutu pendidikan,” katanya.

Sementara itu, Kepala Bagian KepegawaLinkian Dinas Pendidikan Kabupaten Lebak Imam mengatakan, pihakya belum melakukan pemerataan guru karena sedang dilakukan verifikasi pendataan jumlah tenaga pendidik juga pemetaan sekolah. Apabila pemetaan tersebut sudah benar dipastikan akan dilaksanakan pemerataan guru.

Saat ini, ujar dia, Lebak hingga kini kekurangan guru untuk jenjang SD, SMP, SMA dan SMK sebanyak 2.478 orang.Mereka terdiri dari 1.062 guru kelas, 1.079 guru jasmani dan agama serta lainnya guru umum.Saat ini, kata dia, jumlah guru yang ada sebanyak 7.247 orang dan idealnya mencapai 9.725 orang.”Kami setiap tahun mengusulkan kekurangan guru itu kepada pemerintah agar ada pengangkatan pegawai negeri sipil (PNS),” katanya. (ant-tim-one)
sumber: kontak-banten.com
sumber ilutrasi gambar:http://mgmp-ina.blogspot.com/
 

Pendidikan Rakyat

Di manakah di indonesia, praktik pendidikan yang paling berhasil? Bila saya diminta menjawab, sudah tak ragu lagi: di masyarakat Baduy, Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Di sana tak ada sekolah. Bahkan masyarakat Baduy mengharamkan sekolah. Tapi semua anak Baduy menjalani pendidikan yang sangat tepat guna dan tepat sasaran – sepanjang hidup.

Semua pemuda Baduy memiliki keahlian yang dibutuhkan masyarakatnya, yakni bercocok tanam, membuat peralatan rumah tangga, membangun rumah, menjaga hutan dan lingkungan.

Semua orang Baduy, tua muda, taat kepada adat istiadat dan norma-norma yang dianut. Semua warga Baduy bisa melakukan upacara adat dan peribadatan.

Semua wanita Baduy bisa menenun kain, menjahit dan membuat pakaian sendiri. Semua wanita Baduy trampil bekerja di sawah dan kebun, memasak, memilir padi menjadi beras. Semua wanita Baduy bisa jadi bidan bagi wanita lain yang melahirkan.

Semua orang Baduy mampu meramu obat sendiri dan mengobati sakit – apakah diri sendiri atau orang lain. Di sana tak perlu klinik, puskesmas, atau rumah sakit. Semua orang Baduy sehat dan kuat. Tak ada anak Baduy yang kena autis atau indigo atau mengalami kelainan seksual.

Masyarakat Baduy betul-betul masyarakat mandiri. Tanpa sepeser pun anggaran pemerintah, mereka tetap subur makmur gemah ripah loh jinawi. Di leuit-leuitnya, tersimpan persediaan padi yang cukup untuk 80 tahun ke kedepan – untuk semua warga masyarakatnya.

Masyarakat Baduy tak seujung rambut pun terusik oleh devaluasi rupiah, inflasi, kelangkaan pangan, kenaikan harga cabe merah dan sebagainya.

Mungkin ada orang menyanggah: Ya, tapi di sana tak ada sarjana, tak ada teve, radio, hape dan komputer. Tak ada perbincangan tentang software terbaru; tak ada komunikasi jejaring sosial.

Betul. Memang semua itu tidak ada karena mereka sama sekali tak membutuhkannya! Tujuan hidup mereka adalah hidup tenang, tentram dan memelihara alam sekitar. Dan untuk itu, semua yang mereka punyai sekarang sudah cukup. Barang-barang yang disebutkan tadi malah akan merusak keberhasilan yang sudah dinikmati selama ribuan tahun.

Setiap anggota masyarakat Baduy bermanfaat bagi masyarakatnya. Tidak ada seorang warga Baduy yang menganggur. Semuanya bekerja.

Mungkin ada orang menyanggah: Ya, tapi mereka terbelakang, tak ada kendaraan, tak ada mall, tak ada info tai men. Betul. Tapi itu sama sekali bukan keterbelakangan. Itu pilihan hidup. Mereka mengharamkan berkendaraan. Pilihan itu malah menjadikan mereka manusia-manusia mumpuni. 99,9 persen kita tak akan pergi kerja, atau ke pasar, atau ke pertemuan, bila tak ada kendaraan, apakah pribadi atau angkutan umum. Orang Baduy tak mengenal itu. Kemanapun mereka hendak pergi, pergilah dengan berjalan kaki – keluar kota sekalipun!

Mungkin ada orang menyanggah: Ya, tapi tanpa pengetahuan luas, kita tidak mengenal masyarakat-masyarakat lain, bangsa-bangsa lain.

Faktanya, manusia modern yang berpengetahuan luas tentang masyarakat dan bangsa lain nyaris tak pernah berhenti bertengkar, saling sikut, saling dorong, saling berusaha menguasai satu sama lain, acapkali dengan senjata.

Masyarakat Baduy tak pernah mengalami konflik di antara mereka maupun dengan masyarakat lain. Padahal tekanan masyarakat luar kepada lingkungan mereka tak kunjung henti. Masyarakat Baduy tak mengenal kepemilikan pribadi atas tanah. Di sana tak ada sehelai pun sertifikat tanah. Tak tak pernah ada satu kasus pun sengketa lahan!

Pendidikan modern

Sekarang, izinkan saya berilustrasi. Sepasang orang tua di sebuah kampung sangat menginginkan anaknya ‘jadi orang’. Mereka ingin anaknya bersekolah, bagusnya di kota. Bila perlu, semua hasil sawah, kebun, empang, dipakai untuk biaya sekolah anaknya.

Bersekolah sang anak. Belajar berbagai mata pelajaran, ditambah les ini-itu. Meningkat ke SMP, perlu kendaraan. 5 petak sawah dilepas untuk membeli motor. Naik SMA, motor baru dan sebagian kebun dijual. Biaya yang diperlukan makin banyak saja.

Seusai lulus SMA, sang anak sudah jadi pemuda. Bisa menggunakan komputer, menjelajahi dunia maya, mengetahui sejarah dunia, geografi, tapi tak bisa turun ke sawah membantu bapaknya membajak sawah. Bila rumah ada yang rusak, ia tak bisa memperbaiki. Pernah diminta bapaknya menjual ikan ke pasar, tidak mau. Malu.

Leuit. Di dalamnya tersimpan beras untuk persediaan 80 tahun.

Si pemuda pun semakin tak hirau dengan adat istiadat dan norma-norma di kampungnya. Pergaulannya semakin bebas. Segala yang membatasi dianggap kampungan dan ketinggalan zaman. Ngomongnya sudah bertabur kata-kata asing. Berbicara dengan bahasa asli kampung semakin kikuk.

Kebanyakan kebisaan si pemuda tak relevan dengan kebutuhan keluarga, masyarakat dan lingkungannya. Karena itu ia makin tak kerasan saja di kampung. Ia mulai melihat dirinya sebagai penganggur. Maka ia pergi ke kota untuk mencari pekerjaan.

Dia bukan satu-satunya yang mengalami proses hidup demikian. Kawan-kawannya sekampung pun begitu. Para pemuda-pemudi semakin beroritentasi ke kota, ke dunia modern. Sementara itu, sawah dan kebun semakin terabaikan. Semakin banyak yang dijual dan diubah menjadi mini market, pabrik, atau perumahan. Sungai-sungai yang tadinya bening tempat mencuci, mandi dan mancing kini jadi hitam pekat, baunya menusuk hidung, tempat membuang sampah dan limbah beracun.

Pendidikan modern telah mengubah kampung-kampung menjadi daerah-daerah pinggiran yang secara ekonomi tak signifikan karena tak ada lagi andalan. Kalau dulu sumber pangan, kini sumber kelangkaan. Harga beras dan kebutuhan pokok makin mahal dari waktu ke waktu.

Oleh : Kafil Yamin - diposting pada blog pribadinya

 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Peduli Pendidikan Lebak Selatan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger