Pendidikan Lebak Selatan: 4.000 Guru di Lebak Belum Sertifikasi

LEBAK (lampostOnline): Sebanyak 4.000 guru madrasah di Kabupaten Lebak, Banten, belum memiliki sertifikasi sehingga bisa berdampak terhadap kualitas pendidikan. "Kami menargetkan tahun 2014 seluruh guru madrasah sudah bersertifikasi," kata Kepala Seksi Madrasah Pada Pendidikan Agama Kementerian Agama Kabupaten Lebak Idris Jumroni di Rangkasbitung, Selasa (25-9).

Ia menjelaskan, saat ini jumlah guru madrasah di Lebak tercatat 5.000 orang, namun sebanyak 1.000 orang sudah bersertifikasi. Sedangkan, sisanya sebanyak 4.000 orang hingga kini mereka belum sertifikasi. "Kami berharap 2014 seluruh guru madrasah sudah bersertifikasi dan mereka berhak menerima tunjangan satu kali gaji itu," katanya.
 
Menurut dia, dari 5.000 guru tersebut mereka mengajar mulai Madrasah Ibtidaiyah (MI) setara SD sampai Madrasah Aliyah (MA) atau setara SLTA. Sebagian besar mereka guru madrasah sudah menyandang gelar kependidikan agama Islam juga pendidikan umum dengan strata (S-I). Selama ini, kata dia, kuota guru yang mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) sebagai syarat untuk mendapatkan sertifikasi jumlahnya relatif kecil. (ANT/U-5)

Sumber: lampung post
 

Pendidikan Lebak: Ketika Puluhan Murid Belajar di Gubuk


RANGKASBITUNG,(KB).- Puluhan murid Sekolah Dasar (SD) Islam Tawasalna yang berlokasi di Kampung Ciwaru, Desa Sangiang Tanjung, Kecamatan Kalanganyar, Kabupaten Lebak yang terkenal dengan jembatan “Indiana Jones” itu, terpaksa belajar di gubuk yang kondisinya sangat memprihatinkan.

Gubuk tempat belajar itu bertiangkan bambu, beralaskan palupuh (papan terbuat dari bambu-red) beratapkan daun rumbia dan tanpa sarana meja dan kursi sehingga para siswa terpaksa harus belajar sambil bertiarap dan berdesakan juga kondisi beberapa matrialnya sudah lapuk.

Kepala sekolah (Kepsek) SD Islam Tawasalna, Khoiriah, kepada Kabar Banten menuturkan, proses kegiatan belajar mengajar (KBM) yang berlangsung di sebuah gubuk yang bertiangkan bambu, beralaskan palupuh dan beratapkan daun rumbia sudah berjalan hampir empat tahun sejak sekolah tersebut didirikan. Namun kondisi tersebut tidak membuat anak-anak di Kampung Ciwaru menurunkan semangat bersekolahnya.

“Saat ini murid yang ada dari kelas satu hingga kelas empat sebanyak 75 orang. Dulu meski gubuk namun tetap nyaman untuk digunakan KBM meski tanpa meja dan kursi. Tapi kini seiring berjalannya waktu yang menyebabkan beberapa material bangunan gubuk lapuk sering menjadi kendala, ketika hujan turun bocor dan kemarau berlangsung seperti sekarang diterpa debu,”ujarnya.

Khoiriah mengungkapkan, karena kondisi bangunan yang sangat sederhana bahkan jauh dari layak beberapa waktu lalu dua orang murid disekolah yang dipimpinnya sempat mengalami kecelakaan yakni jatuh dari bambu penyangga bagian atas.

“Beruntung hanya kecelakaan kecil saja dan tidak menyebabkan luka serius. Dan kejadian itu dijadikan pengalaman bagi kami untuk lebih memperketat pengawasan terhadap anak-anak kami,”ungkapnya.

Khoiriah mengaku, pihaknya telah berupaya mengajukan permohonan bantuan bangunan kepada pemerintah. Namun hingga sekarang belum ada yang terealisasi.
“Beberapa waktu lalu, kami mendapat informasi akan ada bantuan dari pemerintah. Jika memang benar. Mudah-mudahan bisa segera direalisasikan, agar siswa kami dapat belajar diruangan yang layak dan memenuhi standar,“harapnya.

Khoriah menambahkan, SD Islam Tawasalna merupakan sekolah yang terdekat dengan Kampung Ciwaru. Karena itu, masyarakat lebih memilih menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut.

“Selain itu, lokasi sekolah juga cukup jauh, dan bila musim hujan tiba banyak murid terpaksa tidak sekolah karena banjir. Kalaupun masuk, mereka harus belajar dalam kondisi gubuk yang bocor,“imbuhnya. (H-34)***

sumber: kabar Banten
 

Saya Sebenarnya Masih Ingin Sekolah

dalam blogpost sebelumnya ditulis tentang keinginan seorang anak untuk terus sekolah di tingkat SMA tapi terbentur biaya, akhirnya putus sekolah. Selain biaya pendidikan, pemahaman orang tuanya tentang pendidikan yang kurang juga menjadi penyebab. Silahkan baca di article sebelumnya: Pendidikan Anak Urusan Siapa?

Membaca tulisan itu saya yakin dan percaya itu masih terjadi di Lebak Selatan. walau saya tak punya data yang valid.

Membaca tulisan itu, saya pun teringat beberapa tahun lalu, tepatnya ketika saya sedang menunggu proses kelulusan dari SMA. Teman masa kecil yang juga teman masa SMP menemui saya, dia cerita keinginannya untuk melanjutkan ke SMA.

Dia juga cerita tentang alasan kenapa dia jarang bermain lagi bersama saya dan lainnya setelah lulus SMP, dia malu karena tak melanjutkan sekola. Ya tuhaaannn... saya merasa tak menjadi sahabat yang baik dan benar-benar penduli pada temannya.

Sebagai informasi, sahabat saya ini secara akademiik termasuk orang yang pintar. Semasa di SMP dia selalu masu juara umum. Namun karena keterbatasan biaya pendidikan dia tak melanjutkan.  Saya sekali padahal dia juga punya semangat untuk terus belajar.

 Saya yang waktu itu masih SMA, tak bisa berbuat banyak. Saya hanya dapat mengantarkannya untuk bisa mengikuti ujian paket C.

Selain kejadian sababat saya itu, beberapa hari lalu seoarang kawan bercerita jika di daerah Cibeber masih ada anak yang selalu menjadi juara umum  di SMP tapi karena keterbatasan biaya pendidikan tak bisa melanjutkan.

Mendengar dua cerita itu tentu saja miris, satu sisi pemerintah pusat dan pemda lebak sedang menggalaka pendidikan tapi disi lain masih saja terjadi.

Akan tetapi ya sudahlah..tak usah menyalahkan pihak siapa pun.  Pertanyaan menariknya justru apa yang bisa kita lakukan?.

Tulisan Muthmainnah Maret di Kompasiana.com yang saya posting sebelumnya ini bisa saja menjadi solusi. Silahkan baca di: Zakat Untuk Pembiayaan Pelayanan Pendidikan: Agar Pendidikan Tidak Mahal.

 Mari kita bergerak nyata terhadap pendidikan di lebak selatan melalui Gerakan Penduli pendidikan lebak selatan. apa itu? silahkan baca disini


 

Bagaimana Kulitas Pendidikan Banten Selatan?

Kualitas Pendidikan Banten Selatan Masih Rendah

Anggota Panitia Khusus (Pansus) Laporan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur Banten Tahun Anggaran 2011, Agus Puji Raharjo mengaku prihatin dengan data rata-rata lama sekolah di wilayah Banten Selatan. Rata-rata lama sekolah masyarakat Kabupaten Pandeglang hanya 6,47 sementara Kabupaten Lebak malah 6,24 tahun.

"Itu fakta bahwa angka partisipasi pendidikan masih bermasalah, terutama wilayah Banten Selatan. Persoalan ini jangan dipandang sebelah mata karena akan berdampak negatif pada kesejahteraan masyarakat,"kata kata Agus, Minggu (13/5).

Berdasarkan data dokumen LKPJ Gubernur tahun 2011, rata-rata lama sekolah Lebak 6,24 tahun, Pandeglang 6,47 tahun, Kabupaten Serang 7,05 tahun, Kota Serang 7,51 tahun, Kabupaten Tangerang 8,94 tahun, Kota Cilegon 9,67 tahun, Kota Tangerang 9,98 tahun, dan tertinggi Kota Tangerang Selatan 10,15 tahun. Dengan kata lain, rata-rata lama sekolah masyarakat Banten adalah 8,32 tahun.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menyatakan,  kalau rata-rata lama sekolah Lebak 6,24 tahun dan Pandeglang 6,47 tahun, sama artinya bahwa mayoritas masyarakat di Banten Selatan tidak lulus sekolah dasar (SD). Kenyataan ini, menurut Agus, akan berdampak pada peningkatan angka kemiskinan dan pengangguran.

"Pendidikan menjadi masalah yang berdampak pada pengangguran dan kemiskinan. Jika lulus SD saja tida, masyarakat mau kerja apa. Kemudian masyarakat akan berpenghasilan rendah atau miskin,"ujarya.

Kepala Dindik Banten Hudaya Latuconsina sebelumnya pernah mengakui angka rata-rata lama sekolah yang rendah di Lebak Selatan. Kata dia, soal rata-rata lama sekolah Banten berada pada posisi 8,32 tahun di atas rata-rata nasional 7,92 tahun. Menurutnya, Pemprov Banten harus menuntaskan rata-rata lama sekolah 9 tahun atau sederajat SMP. “Jika kita mampu menyelesaikan wajib belajar 9 tahun, maka berlanjut ke wajib belajar 12 tahun,"kata Hudaya. (warta/003)
Sumber: wartatangerang
 

Mari Gunakan Zakat Untuk Pendidikan !

Menarik ketika membaca salah satu Opini Muthmainnah Maret pada Kompasiana.com dengan Judul
Zakat Untuk Pembiayaan Pelayanan Pendidikan: Agar Pendidikan Tidak Mahal. Dalam tulisannya beliau menggambarkan bagaimana hasilnya ketika pemerintah telah mengalokasikan Zakat Profesi Pegawai Negeri Sipil sebesar 2,5% dari pendapatannya. dan hasilnya menakjubkan. dalam perhitungan tersebut pemerintah dapat menghemat Biaya atau mungkin menambah biaya pendidikan sebesar Rp 74.453.208.000,00. setiap tahunnya. Untuk lebih jelasnya silakan Baca artikel lengkapnya di bawah ini. 
Urgensi Pendidikan
Keberadaan kepemerintahan suatu negara seharusnya mampu memberikan pelayanan-pelayanan dasar yang dapat diakses secara adil oleh seluruh lapisan warga negara. Pelayanan-pelayanan dasar ini adalah keamanan, kesehatan, dan pendidikan. Namun pada faktanya ketiga pelayanan dasar ini hanya bisa dinikmati dengan mudah oleh segelintir orang saja. Sementara untuk kalangan menengah ke bawah, ketiga pelayanan yang sesungguhnya bersifat “dasar” ini justru menjadi barang “mahal”. Seperti pelayanan pendidikan misalnya. Tidak semua orang mampu mengaksesnya dengan mudah. Padahal pendidikan mengambil peranan penting dalam kemajuan Negara khatulistiwa ini, dimana ia merupakan mesin yang akan mencetak generasi muda penerus bangsa yang memiliki daya saing baik dari segi intelektualitas, emosional dan spiritual sehingga mampu berkompetisi pada tingkat global.
Pendidikan juga merupakan senjata bagi fenomena bonus demografi, yaitu fenomena dimana jumlah penduduk usia produktif (15–60 tahun) lebih besar dibandingkan dengan usia nonproduktif (di bawah 15 tahun dan di atas 60 tahun) yang perkirakan terjadi di Indonesia pada tahun 2020 – 2030. Menurut Surya Chandra, anggota DPR Komisi IX, dalam seminarnya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pada tahun 2020 – 2030, Indonesia akan memilki 180 juta (70 %) usia produktif dan hanya 60 juta jiwa penduduk usia tidak produktif. Bisa dibayangkan seandainya anak-anak usia sekolah yang akan menjadi generasi produktif dimasa mendatang justru tidak mandapatkan layanan pendidikan, bonus demografi malah akan menjadi bencana karena generasi tersebut tidak mampu bersaing di pasar tenaga kerja. Ujung-ujungnya angka pengangguran meningkat.
Berdasarkan data dari National Geographic Indonesia (11/07/2011), jumlah anak putus sekolah mencapai 11,7 juta anak pada tahun 2009, rata-rata berusia 7 – 15 tahun. Jumlah ini terus meningkat dari 3 tahun sebelumnya yang masih berjumlah 9,7 juta jiwa pada tahun 2006. Jumlah ini akan terus bertambah 600.000 hingga 700.000 siswa per tahun berdasarkan data tahun 2009 dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Kenapa hal ini bisa terjadi? Pertama pelayanan pendidikan mahal. Hal ini tidak akan menjadi masalah, hanya jika penduduk Indonesia tidak miskin. Namun ternyata terdapat 30,02 juta orang miskin di Indonesia menurut Data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2011. Kondisi kemiskinan yang menyebabkan keterbatasan sebagian masyarakat dalam mengakses pelayanan pendidikan.
Penyelenggaraan dan Pembiayaan Pelayanan Pendidikan
Hal tersebut seharusnya dapat teratasi dengan keberadaan pelayanan pendidikan yang berkualitas dan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat bahkan yang paling miskin sekalipun. Penyelenggeraan fasilitas pendidikan memang bukan suatu proyek yang memberikan profit berupa materi dalam jumlah yang pasti, tetapi berefek jangka panjang terhadap kemajuan suatu bangsa. Penyediaan pelayanan pendidikan justru menghabiskan anggaran yang besar, baik dari segi biaya pengadaan fisik bangunan, biaya operasional, perawatan, perbaikan, gaji pegawai dan segala tetek bengek biaya lainnya. Sementara pemasukan dari pelayanan pendidikan bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Penyediaan pendidikan justru menghabiskan dana APBN/APBD tetapi tidak memberikan pemasukan. Hal ini mengakibatkan pembebanan biaya beralih pada konsumen layanan pendidikan, agar modal pembangunan fasilitas pendidikan bisa kembali modal, atau paling tidak, fasilitas pendidikan tersebut dapat mandiri dari segi biaya operasional setiap harinya.
Penyediaan pelayanan pendidikan sangat mungkin diselenggarakan oleh pihak swasta, Bahkan saat ini bisa kita lihat sekolah swasta mulai menjamur. Namun kembali lagi pada kualitas, harus kita akui bahwa sekolah swasta yang memiliki mutu pendidikan yang bagus dan unggul, sangat-sangat mahal. Biaya SPP jauh melampaui sekolah-sekolah negeri. Lagi-lagi masyarakat miskin tidak mampu mengakses pendidikan yang berkualitas. Apakah ada sekolah swasta yang murah? Jawabannya ada, Bahkan ada yang cuma-cuma memberikan pendidikan gratis. Tapi tidak ada jaminan soal kualitas.
Pembiayaan Pelayanan Pendidikan
Penyelesaian dari pendekatan pembiayaan pembangunan layanan pendidikan dapat menjadi salah satu cara dalam menyelesaikan kondisi tersebut. Selama ini pembiayaan pembangunan fasilitas pendidikan bersumber dari dana konvensional (APBN/APBD) dan dana non-konvensional, yaitu dana yang berasal bukan dari pemerintah. Dana ini bisa jadi bersumber dari hutang, dana hibah, zakat atau biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pihak swasta.
Zakat adalah salah satu sumber dana non-konvensional paling potensial untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan dibandingkan dengan hutang/penyediaan pendidikan oleh swasta. Zakat adalah kewajiban ummat muslim untuk menyisihkan sebagian dari hartanya (2,5 %) untuk diberikan kepada yang membutuhkan. Kenapa zakat? Pertama potensi jumlah penduduk muslim Indonesia mencapai 204,8 juta jiwa dari total 237,6 juta jiwa berdasarkan sensus terakhir tahun 2010. Kedua, pengadaan modal untuk penyelenggraan pendidikan dari zakat, sama sekali tidak menuntut pengembalian modal berbeda dengan hutang atau pinjaman dari swasta, yang bukan hanya menuntut pengembalian modal justru ditambah dengan bunga.
Jenis zakat yang bisa dijadikan sebagai sumber pembiayaan penyelenggaraan pendidikan adalah zakat profesi (dokter, pedagang, PNS, dll yang halal). Berdasarkan kondisi harga kebutuhan pokok saat ini maka nishab (batasan antara apakan kekayaan yang dimiliki seseorang wajib dikeluarkan untuk zakat atau tidak) adalah mereka yang memiliki pendapatan Rp. 3juta. Jadi zakat yang harus dibayarkan adalah Rp. 75.000,00/bulan atau 900.000,00/tahun. Berdasarkan data dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) tahun 2010, potensi zakat profesi mencapai Rp 19,3 trilyun. Jumlah ini bisa terus bertambah setiap tahunnya.
Jumlah dana ini, lebih dari cukup untuk menjadi sumber pembiayaan bagi pelayanan pendidikan. Sebagai contoh, Kota Surabaya, potensi zakat profesi tahun 2011 mencapai Rp 6.204.450.000,00 per bulan. Jika dana zakat ini digunakan untuk membantu pembiayaan pendidikan untuk siswa SD di Surabaya dengan nilai bantuan sama dengan nilai subsidi yang telah ditetapkan oleh Pemkot Surabaya yaitu sebesar Rp 29.000/anak maka dengan zakat ini dapat menggratiskan SPP untuk 213.946 siswa SD atau dapat meringankan anggaran pemerintah sebesar Rp 74.453.208.000,00.
Hal ini cukup membuktikan bahwa zakat patut dilirik untuk dijadikan sumber pembiayaan bagi pendidikan terutama bagi kaum fakir miskin. Sehingga kesenjangan dalam mengakses pelayanan pendidikan yang berkualitas dapat dihilangkan. Selain itu peran zakat dalam pembiayaan pelayanan pendidikan mencerminkan kepedulian sosial dimana kaum yang mampu membantu kaum yang lemah dari segi ekonomi. Bayangkan jika gaji presiden yang sebedar Rp.60 juta dipotong 2,5 % atau sebesar Rp. 1,5 juta/bulan (Rp.18 juta/tahun), ditambah dengan Bakrie, Surya Paloh, dan kawan-kawan. Kesenjangan dalam mengakses pelayanan pendidikan bukan lagi menjadi sebuah masalah yang mengancam masa depan bangsa. Merdeka !
 

Masih Terjadi di Lebak Selatan, Pendidikan Anak Urusan Siapa?

Saya menemukan artikel ini Pendidikan Anak Urusan Siapa? karya Ronald Anthony seorang Pelajar SMA St Petrus Ptk dari kompasiana. Membaca tulisan ini saya merasa bahwa kasus anak ingin sekolah tapi tak ada biaya dan soal mindset orang tua tentang sekolah juga masih terjadi di lebak selatan.

Jadi rasanya sayang tak di share di blog ini kepada teman-teman. Silahkan artikel selengkapnya:

Pendidikan Anak Urusan Siapa?

Ketika saya sedang menulis ini saya baru saja mendengar sebuah cerita nyata dan jeritan dari salah satu anak negeri ini yang masih mempunyai keinginan kuat untuk sekolah hingga wajib belajar 12 tahun tuntas namun apa lah daya seorang anak.

Namanya sebut saja B(tidak etis saya sebutkan disini nama aslinya) umurnya kira” 16/17 tahun sudah sempat mengenyam pendidikan hingga setingkat SMA dan hari-harinya dilalui seperti biasa kebanyakan anak namun ketika akan naik kelas ayahnya memutuskan untuk memberhentikan ia dari sekolahnya dikarenakan bukan karena masalah keuangan bukan karena masalah keluarga tapi masalah prinsip.

Ya prinsip menjadi persoalan yang muncul di tengah prahara ini sang ayah berprinsip bahwa anak seumuran dia sebaiknya langsung saja bekerja tidak usah sekolah toh kakaknya juga sudah sukses tanpa harus sekolah dan kalau kakaknya saja bisa tentunya ayahnya berpendapat bawa ia juga dapat melakukan hal yang sama.

Saya hanya bisa menghela nafas panjang sambil memikirkan kejadian itu yang pertama anak itu titipan dari tuhan sudah sepantasnya dan selayaknya kita memperlakukan dia seperti barang yang mewah dan tentunya salah satu indikator itu adalah pendidikan. Pendidikan sangat penting dalam pembentukan karakter anak dimana mereka bersosialisasi mengenal lingkungan nya padahal pemerintah sudah mencanangkan program wajib belajar 12 tahun hingga SMA/Sederajat.

Ya sekali lagi itu masalah Prinsip kita tidak bisa menyalahkan juga sepenuhnya kepada orang tua yang tidak mau menyekolahkan anaknya mungkin saja kesulitan ekonomi menjadi masalah utama namun ketika hal ini terjadi dimana fungsi dan peran pemerintah sebagai pengayom masyarakat meskipun sudah diberi kemudahan dengan Bantuan Operasional Sekolah(BOS) dan Sekolah Gratis bahkan hingga iklan “Sekolah Gratis dimana-mana” terngiang-ngiang ketika saya membuka TV.

Ada satu hal yang ingin saya tekankan pada saat Ujian Nasioanal 2012 yang lalu saya sempat menonton Tayangan televisi di salah satu Tv swasta yang menayangkan talkshow antara Pemerintah kalau tidak salah diwakili Dirjen nya dengan Praktisi Pendidikan bahwa ujian nasional sebagai acuan untuk mengetahui sejauh mana sistem/standard pendidikan di daerah tapi teman yang ikut menonton di sebelah saya mengatakan kalau mau tahu sejauh mana sistem/standard pendidikan turun ke bawah jangan hanya bicara turun melihat ke daerah-daerah saya sempat berdikusi ringan dengan guru sosiologi saya Ujian Nasional betul dikatakan untuk mengetahui standard pendidikan di daerah namun jangan sebagai ACUAN dalam menentukan kelulusan meskipun komposisi 60% ujian nasional dan 40% dari sekolah dinilai masih memberatkan siswa.

Saya berharap Pemerintah mendengar suara Jeritan Anak negeri ini yang masih jauh tertinggal dalam hal pendidikan jangan hanya tiap hari memikirkan bagi-bagi kekuasaan dan Korupsi tapi pikirkan juga lah Kami masyarakat kecil yang menunggu aksimu.


sumberimage: http://edukasi.kompasiana.com/
 

Masih Kekurangan Guru, Dewan Pendidikan Lebak Minta Pemerataan Guru Direalisasikan

Dewan pendidikan Kabupaten Lebak meminta pemerintah daerah setempat melakukan pemerataan guru direalisasikan, sehingga tidak terjadi kekurangan antara perkotaan dan pedesaan.

”Selama ini pemerataan tenaga pendidik belum ideal karena guru banyak menumpuk di perkotaan,” kata Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Lebak Hasan Alaydrus di Rangkasbitung, Kamis. Ia mengatakan, selama ini Kabupaten Lebak tidak akan terjadi kekurangan guru antara perdesaan dan perkotaan. Apabila, rekrutmen penyaluran tenaga pendidik dilaksanakan dengan baik.

Saat ini, kata dia, pemerataan guru tidak seimbang antara kota dan desa. Sebetulnya, jumlah guru di Kabupaten Lebak sebanyak 7.247 orang sudah mencukupi untuk disebar di 28 kecamatan. Namun, kata dia, pemerataan guru yang tidak baik, sehingga terjadi kekurangan.”Kami berharap dinas pendidikan setempat segera melaksanakan pemerataan guru,” katanya.

Suryana (45), seorang guru SDN di Kecamatan Panggarangan, Kabupaten Lebak, mengaku hingga kini sekolahnya yang berlokasi di desa terpencil kekurangan guru sebanyak empat orang. Saat ini, kata dia, guru yang ada hanya tiga orang, termasuk kepala sekolah.”Dengan kekurangan guru itu tentu kegiatan belajar mengajar (KBM) tidak efektif untuk meningkatkan mutu pendidikan,” katanya.

Sementara itu, Kepala Bagian KepegawaLinkian Dinas Pendidikan Kabupaten Lebak Imam mengatakan, pihakya belum melakukan pemerataan guru karena sedang dilakukan verifikasi pendataan jumlah tenaga pendidik juga pemetaan sekolah. Apabila pemetaan tersebut sudah benar dipastikan akan dilaksanakan pemerataan guru.

Saat ini, ujar dia, Lebak hingga kini kekurangan guru untuk jenjang SD, SMP, SMA dan SMK sebanyak 2.478 orang.Mereka terdiri dari 1.062 guru kelas, 1.079 guru jasmani dan agama serta lainnya guru umum.Saat ini, kata dia, jumlah guru yang ada sebanyak 7.247 orang dan idealnya mencapai 9.725 orang.”Kami setiap tahun mengusulkan kekurangan guru itu kepada pemerintah agar ada pengangkatan pegawai negeri sipil (PNS),” katanya. (ant-tim-one)
sumber: kontak-banten.com
sumber ilutrasi gambar:http://mgmp-ina.blogspot.com/
 

Pendidikan Rakyat

Di manakah di indonesia, praktik pendidikan yang paling berhasil? Bila saya diminta menjawab, sudah tak ragu lagi: di masyarakat Baduy, Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Di sana tak ada sekolah. Bahkan masyarakat Baduy mengharamkan sekolah. Tapi semua anak Baduy menjalani pendidikan yang sangat tepat guna dan tepat sasaran – sepanjang hidup.

Semua pemuda Baduy memiliki keahlian yang dibutuhkan masyarakatnya, yakni bercocok tanam, membuat peralatan rumah tangga, membangun rumah, menjaga hutan dan lingkungan.

Semua orang Baduy, tua muda, taat kepada adat istiadat dan norma-norma yang dianut. Semua warga Baduy bisa melakukan upacara adat dan peribadatan.

Semua wanita Baduy bisa menenun kain, menjahit dan membuat pakaian sendiri. Semua wanita Baduy trampil bekerja di sawah dan kebun, memasak, memilir padi menjadi beras. Semua wanita Baduy bisa jadi bidan bagi wanita lain yang melahirkan.

Semua orang Baduy mampu meramu obat sendiri dan mengobati sakit – apakah diri sendiri atau orang lain. Di sana tak perlu klinik, puskesmas, atau rumah sakit. Semua orang Baduy sehat dan kuat. Tak ada anak Baduy yang kena autis atau indigo atau mengalami kelainan seksual.

Masyarakat Baduy betul-betul masyarakat mandiri. Tanpa sepeser pun anggaran pemerintah, mereka tetap subur makmur gemah ripah loh jinawi. Di leuit-leuitnya, tersimpan persediaan padi yang cukup untuk 80 tahun ke kedepan – untuk semua warga masyarakatnya.

Masyarakat Baduy tak seujung rambut pun terusik oleh devaluasi rupiah, inflasi, kelangkaan pangan, kenaikan harga cabe merah dan sebagainya.

Mungkin ada orang menyanggah: Ya, tapi di sana tak ada sarjana, tak ada teve, radio, hape dan komputer. Tak ada perbincangan tentang software terbaru; tak ada komunikasi jejaring sosial.

Betul. Memang semua itu tidak ada karena mereka sama sekali tak membutuhkannya! Tujuan hidup mereka adalah hidup tenang, tentram dan memelihara alam sekitar. Dan untuk itu, semua yang mereka punyai sekarang sudah cukup. Barang-barang yang disebutkan tadi malah akan merusak keberhasilan yang sudah dinikmati selama ribuan tahun.

Setiap anggota masyarakat Baduy bermanfaat bagi masyarakatnya. Tidak ada seorang warga Baduy yang menganggur. Semuanya bekerja.

Mungkin ada orang menyanggah: Ya, tapi mereka terbelakang, tak ada kendaraan, tak ada mall, tak ada info tai men. Betul. Tapi itu sama sekali bukan keterbelakangan. Itu pilihan hidup. Mereka mengharamkan berkendaraan. Pilihan itu malah menjadikan mereka manusia-manusia mumpuni. 99,9 persen kita tak akan pergi kerja, atau ke pasar, atau ke pertemuan, bila tak ada kendaraan, apakah pribadi atau angkutan umum. Orang Baduy tak mengenal itu. Kemanapun mereka hendak pergi, pergilah dengan berjalan kaki – keluar kota sekalipun!

Mungkin ada orang menyanggah: Ya, tapi tanpa pengetahuan luas, kita tidak mengenal masyarakat-masyarakat lain, bangsa-bangsa lain.

Faktanya, manusia modern yang berpengetahuan luas tentang masyarakat dan bangsa lain nyaris tak pernah berhenti bertengkar, saling sikut, saling dorong, saling berusaha menguasai satu sama lain, acapkali dengan senjata.

Masyarakat Baduy tak pernah mengalami konflik di antara mereka maupun dengan masyarakat lain. Padahal tekanan masyarakat luar kepada lingkungan mereka tak kunjung henti. Masyarakat Baduy tak mengenal kepemilikan pribadi atas tanah. Di sana tak ada sehelai pun sertifikat tanah. Tak tak pernah ada satu kasus pun sengketa lahan!

Pendidikan modern

Sekarang, izinkan saya berilustrasi. Sepasang orang tua di sebuah kampung sangat menginginkan anaknya ‘jadi orang’. Mereka ingin anaknya bersekolah, bagusnya di kota. Bila perlu, semua hasil sawah, kebun, empang, dipakai untuk biaya sekolah anaknya.

Bersekolah sang anak. Belajar berbagai mata pelajaran, ditambah les ini-itu. Meningkat ke SMP, perlu kendaraan. 5 petak sawah dilepas untuk membeli motor. Naik SMA, motor baru dan sebagian kebun dijual. Biaya yang diperlukan makin banyak saja.

Seusai lulus SMA, sang anak sudah jadi pemuda. Bisa menggunakan komputer, menjelajahi dunia maya, mengetahui sejarah dunia, geografi, tapi tak bisa turun ke sawah membantu bapaknya membajak sawah. Bila rumah ada yang rusak, ia tak bisa memperbaiki. Pernah diminta bapaknya menjual ikan ke pasar, tidak mau. Malu.

Leuit. Di dalamnya tersimpan beras untuk persediaan 80 tahun.

Si pemuda pun semakin tak hirau dengan adat istiadat dan norma-norma di kampungnya. Pergaulannya semakin bebas. Segala yang membatasi dianggap kampungan dan ketinggalan zaman. Ngomongnya sudah bertabur kata-kata asing. Berbicara dengan bahasa asli kampung semakin kikuk.

Kebanyakan kebisaan si pemuda tak relevan dengan kebutuhan keluarga, masyarakat dan lingkungannya. Karena itu ia makin tak kerasan saja di kampung. Ia mulai melihat dirinya sebagai penganggur. Maka ia pergi ke kota untuk mencari pekerjaan.

Dia bukan satu-satunya yang mengalami proses hidup demikian. Kawan-kawannya sekampung pun begitu. Para pemuda-pemudi semakin beroritentasi ke kota, ke dunia modern. Sementara itu, sawah dan kebun semakin terabaikan. Semakin banyak yang dijual dan diubah menjadi mini market, pabrik, atau perumahan. Sungai-sungai yang tadinya bening tempat mencuci, mandi dan mancing kini jadi hitam pekat, baunya menusuk hidung, tempat membuang sampah dan limbah beracun.

Pendidikan modern telah mengubah kampung-kampung menjadi daerah-daerah pinggiran yang secara ekonomi tak signifikan karena tak ada lagi andalan. Kalau dulu sumber pangan, kini sumber kelangkaan. Harga beras dan kebutuhan pokok makin mahal dari waktu ke waktu.

Oleh : Kafil Yamin - diposting pada blog pribadinya

 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Peduli Pendidikan Lebak Selatan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger