Pendidikan Rakyat

Di manakah di indonesia, praktik pendidikan yang paling berhasil? Bila saya diminta menjawab, sudah tak ragu lagi: di masyarakat Baduy, Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Di sana tak ada sekolah. Bahkan masyarakat Baduy mengharamkan sekolah. Tapi semua anak Baduy menjalani pendidikan yang sangat tepat guna dan tepat sasaran – sepanjang hidup.

Semua pemuda Baduy memiliki keahlian yang dibutuhkan masyarakatnya, yakni bercocok tanam, membuat peralatan rumah tangga, membangun rumah, menjaga hutan dan lingkungan.

Semua orang Baduy, tua muda, taat kepada adat istiadat dan norma-norma yang dianut. Semua warga Baduy bisa melakukan upacara adat dan peribadatan.

Semua wanita Baduy bisa menenun kain, menjahit dan membuat pakaian sendiri. Semua wanita Baduy trampil bekerja di sawah dan kebun, memasak, memilir padi menjadi beras. Semua wanita Baduy bisa jadi bidan bagi wanita lain yang melahirkan.

Semua orang Baduy mampu meramu obat sendiri dan mengobati sakit – apakah diri sendiri atau orang lain. Di sana tak perlu klinik, puskesmas, atau rumah sakit. Semua orang Baduy sehat dan kuat. Tak ada anak Baduy yang kena autis atau indigo atau mengalami kelainan seksual.

Masyarakat Baduy betul-betul masyarakat mandiri. Tanpa sepeser pun anggaran pemerintah, mereka tetap subur makmur gemah ripah loh jinawi. Di leuit-leuitnya, tersimpan persediaan padi yang cukup untuk 80 tahun ke kedepan – untuk semua warga masyarakatnya.

Masyarakat Baduy tak seujung rambut pun terusik oleh devaluasi rupiah, inflasi, kelangkaan pangan, kenaikan harga cabe merah dan sebagainya.

Mungkin ada orang menyanggah: Ya, tapi di sana tak ada sarjana, tak ada teve, radio, hape dan komputer. Tak ada perbincangan tentang software terbaru; tak ada komunikasi jejaring sosial.

Betul. Memang semua itu tidak ada karena mereka sama sekali tak membutuhkannya! Tujuan hidup mereka adalah hidup tenang, tentram dan memelihara alam sekitar. Dan untuk itu, semua yang mereka punyai sekarang sudah cukup. Barang-barang yang disebutkan tadi malah akan merusak keberhasilan yang sudah dinikmati selama ribuan tahun.

Setiap anggota masyarakat Baduy bermanfaat bagi masyarakatnya. Tidak ada seorang warga Baduy yang menganggur. Semuanya bekerja.

Mungkin ada orang menyanggah: Ya, tapi mereka terbelakang, tak ada kendaraan, tak ada mall, tak ada info tai men. Betul. Tapi itu sama sekali bukan keterbelakangan. Itu pilihan hidup. Mereka mengharamkan berkendaraan. Pilihan itu malah menjadikan mereka manusia-manusia mumpuni. 99,9 persen kita tak akan pergi kerja, atau ke pasar, atau ke pertemuan, bila tak ada kendaraan, apakah pribadi atau angkutan umum. Orang Baduy tak mengenal itu. Kemanapun mereka hendak pergi, pergilah dengan berjalan kaki – keluar kota sekalipun!

Mungkin ada orang menyanggah: Ya, tapi tanpa pengetahuan luas, kita tidak mengenal masyarakat-masyarakat lain, bangsa-bangsa lain.

Faktanya, manusia modern yang berpengetahuan luas tentang masyarakat dan bangsa lain nyaris tak pernah berhenti bertengkar, saling sikut, saling dorong, saling berusaha menguasai satu sama lain, acapkali dengan senjata.

Masyarakat Baduy tak pernah mengalami konflik di antara mereka maupun dengan masyarakat lain. Padahal tekanan masyarakat luar kepada lingkungan mereka tak kunjung henti. Masyarakat Baduy tak mengenal kepemilikan pribadi atas tanah. Di sana tak ada sehelai pun sertifikat tanah. Tak tak pernah ada satu kasus pun sengketa lahan!

Pendidikan modern

Sekarang, izinkan saya berilustrasi. Sepasang orang tua di sebuah kampung sangat menginginkan anaknya ‘jadi orang’. Mereka ingin anaknya bersekolah, bagusnya di kota. Bila perlu, semua hasil sawah, kebun, empang, dipakai untuk biaya sekolah anaknya.

Bersekolah sang anak. Belajar berbagai mata pelajaran, ditambah les ini-itu. Meningkat ke SMP, perlu kendaraan. 5 petak sawah dilepas untuk membeli motor. Naik SMA, motor baru dan sebagian kebun dijual. Biaya yang diperlukan makin banyak saja.

Seusai lulus SMA, sang anak sudah jadi pemuda. Bisa menggunakan komputer, menjelajahi dunia maya, mengetahui sejarah dunia, geografi, tapi tak bisa turun ke sawah membantu bapaknya membajak sawah. Bila rumah ada yang rusak, ia tak bisa memperbaiki. Pernah diminta bapaknya menjual ikan ke pasar, tidak mau. Malu.

Leuit. Di dalamnya tersimpan beras untuk persediaan 80 tahun.

Si pemuda pun semakin tak hirau dengan adat istiadat dan norma-norma di kampungnya. Pergaulannya semakin bebas. Segala yang membatasi dianggap kampungan dan ketinggalan zaman. Ngomongnya sudah bertabur kata-kata asing. Berbicara dengan bahasa asli kampung semakin kikuk.

Kebanyakan kebisaan si pemuda tak relevan dengan kebutuhan keluarga, masyarakat dan lingkungannya. Karena itu ia makin tak kerasan saja di kampung. Ia mulai melihat dirinya sebagai penganggur. Maka ia pergi ke kota untuk mencari pekerjaan.

Dia bukan satu-satunya yang mengalami proses hidup demikian. Kawan-kawannya sekampung pun begitu. Para pemuda-pemudi semakin beroritentasi ke kota, ke dunia modern. Sementara itu, sawah dan kebun semakin terabaikan. Semakin banyak yang dijual dan diubah menjadi mini market, pabrik, atau perumahan. Sungai-sungai yang tadinya bening tempat mencuci, mandi dan mancing kini jadi hitam pekat, baunya menusuk hidung, tempat membuang sampah dan limbah beracun.

Pendidikan modern telah mengubah kampung-kampung menjadi daerah-daerah pinggiran yang secara ekonomi tak signifikan karena tak ada lagi andalan. Kalau dulu sumber pangan, kini sumber kelangkaan. Harga beras dan kebutuhan pokok makin mahal dari waktu ke waktu.

Oleh : Kafil Yamin - diposting pada blog pribadinya

Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Peduli Pendidikan Lebak Selatan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger